Kegiatan sesrawungan saya terhenti akibat mengecilnya lingkaran sosial (kau tahu bukan, semakin bertambah usia, lingkungan pertemanan pastinya bakal semakin berkurang) dan imbas alam bawah sadar saya untuk menghindari dunia alih-alih menjadi serangga.
Kemarin malam saya kembali menyempatkan bertemu kawan-kawan lama, karena salah satu dari mereka akan segera meninggalkan Jakarta untuk dalam waktu yang belum ditentukan apakah bakal balik lagi ke ibukota atau tidak.
Semua tentu membawa beban dan cerita masing-masing untuk ditebar di meja; bersinggungan dengan gelas kopi, asbak, bungkus rokok dan harapan akan masa depan yang jauh dari jangkauan. Seperti lembaran kartu remi, semua mengeluarkan kartu as atau qiu-qiu mereka.
Tentu saja, apa yang mau kau bagikan jika hanya memiliki wajik dan kartu tris? Ajang sesrawungan bagi usia lajang seperti saya adalah bentuk pengakuan dan bagaimana cara menggulung kartu lain.
Di luar itu semua, modal saya hari ini hanyalah tujuh lembar kartu seri kecil. Tanpa jak atau poker. Menimbang itu semua, saya kemudian hanya sebatas mendengarkan sambil sesekali bermain dan menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dalam diri saya.
Saya tidak lagi memiliki kedalaman. Saya sumur tua kering yang akhirnya ditutup dengan beton atau menjadi septik tank. Saya tidak mengerti. Sepanjang perjalanan pulang saya tidak dapat mengambil kesimpulan apapun terkait sesuatu yang berkurang dari dalam diri saya.
Umpama ditimbang, ada segumpal daging hangat dan pikiran saya untuk menanggapi sesuatu yang penting (hingga omong kosong) lenyap. Daging lembut itu sebenarnya tidak hilang, hanya entah terkubur atau sedang melakukan transaksi dengan jembalang di petak Kober.
Menyikapi hal itu, setiap orang tentu memiliki daya hidup dan sudut pandang yang berbeda-beda. Dan saya tetap memilih untuk menjadi gulma atau daun katuk saat tidur siang sambil bergumam bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja saat ibu menangis. "DUNIAKANA"