Yang aku ingat, aku akan ikut truk Haji Yasin, membawa diriku jauh ke kota. Tempat itu sebenarnya juga aku tak tahu bentuknya seperti apa. Orangnya juga aku tak paham bagaimana cara mengakrabinya.
Tapi, An. Demi engkau, dan masa depan jabang bayi itu, aku akan meraup pundi guna biaya sekolahnya kelak. Juga agar kau bisa berdandan seperti perempuan kebanyakan. Melepas diriku pergi jauh sungguh berat, bukan?
Apalagi perpisahan itu menggantung beberapa perdebatan yang belum juga kita ketemukan benang merah jawaban. Nyawa dalam perutmu jelas bukan punyaku. Aku bahkan tak pernah sedikitpun menyentuh keindahan tubuhmu.
An, entah siapapun yang menanam benih nyawa itu, aku bersaksi aku akan menjadi ayahnya sebab cintaku padamu merangkum seluruh kepedihanmu. An, kalau kuhitung, anak kita seharusnya sudah bisa memanggil namaku dengan jelas.
Juga mungkin sudah tumbuh gigi mungil serta bisa membuat kamu marah sampai menggigil sebab kenakalan. Jangan marahi anak itu, An. DUNIAKANA mereka sungguh tak dapat dimengerti. Aku pernah temui di kota, anak-anak dibawa untuk mengemis.
Kasihan, An. Aku ingin anak kita tumbuh dan berpendidikan. Itu alasan aku terus bekerja sampai detik ini. An, bulan depan aku akan pulang setelah sekian tahun jika hitunganku tepat. Sebelum itu, kuceritakan kau satu kabar.
Aku mungkin akan mengundur kepulanganku. Aku mendapat pekerjaan singkat yang bisa meraup untung banyak. Seorang lelaki buncit mendatangi perkampunganku di kota. Katanya, kami akan dapat uang jika kami ikut menyabotase demonstrasi undang-undang.
Yang akan aku kerjakan sangat sepele, An. Membakar halte bus untuk mengalihkan perhatian para demonstran. Aku tak tahu apakah aku mampu dan bisa. Dia bilang bisa jadi kami mati. Tapi, jika kami mati, maka uang itu akan dikirim ke rumah kami di kampung. An, jika aku tak pulang, setidaknya uang itu bisa menghidupimu dan anak kita. Salam sayang, Kuri