Pemanfaatan media sosial oleh anak ialah keniscayaan di era digital saat ini. Perlu edukasi yang masif kepada anak agar terhindar dari ekspoitasi dan tindakan kekerasan.
Sebagai sarana komunikasi dan interaksi, media sosial (MEDSOS) semakin tidak aman bagi anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa 60% kasus eksploitasi seksual dan pekerja anak menggunakan media sosial.
Beberapa aplikasi tercatat rentan untuk di salahgunakan dan di manfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang menjadikan anak sebagai korbannya. "Dari 60% itu, para pelaku menggunakan aplikasi Michat 41%, WhatsApp 21%, Facebook 17%, dan 17 % lagi tidak di ketahui. Hotel yang di pesan secara virtual nama Reddoorz 4%," kata Komisioner KPAI Ai Maryati Solihah dalam konferensi pers virtual, kemarin.
Tingginya penyalahgunaan medsos tersebut, menurunnya sangatlah memperihatinkan. Pasalnya, dari 35 kasus ekspoilitasi seksual dan pekerja anak selama periode Januari-April 2021, sebanyak 234 anak menjadi korbannya.
Untuk itu KPAI meminta pemerintah untuk serius memperhatikan masalah itu. Aplikasi-aplikasi selain di awasi juga harus di evaluasi terkai penyalah-gunaannya.
"Terkait Michat sebagai aplikasi yang banyak di salahgunakan, kita meminta pemerintah memberi perhatian dalam mengevaluasi. KPAI mendorong Kementrian Kominfo untuk PRO-Aktif pada penyedia aplikasi," kata dia.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yunus Yusri jua membenarkan terkait modus-modus eksploitasi anak melalui media social. Hal itu terungkap dari berbagai penyidikan yang di lakukan aparat. "Biasanya mereka ini merekrut melalui media sosial. Ada iming-iming yang menjadi awal dari prostitusi anak"ujarnya.
Dia menerangkan bahwa di kepolisian memang ada patroli siber. Pihak berkoordinasi dengan Kominfo untuk menindak jejaring eksploitasi anak yang ada di media sosial.
Darurat, Dampak Negatif Media Sosial Pada Anak
Ancaman terhadap keamanan anak di media sosial tersebut juga di picu adanya aktivitas virtual anak di masa pandemi. Menurut Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Ciput Eka Purwanti, terkait medium tersebut memang di masa pandemi pengguna media sosial sangat tinggi. Pasalnya, kebijakan pemberantasan telah mendorong adanya aktivitas virtual.
Dari laporan kasus kekerasan terhadap anak yang masuk melalui Simfoni PPA untuk periode Januari-Maret tercatat sangat tinggi. Untuk Januari ada 1.166 kasus yang di laporkan dengan jumlah korban anak 1.286.
"Sampai maret trennya memang turun, tapi masih tinggi. Februari 879 kasus dan Maret 854 kasus, korbannya di atas 900 Anak," paparnya.
Dari kasus yang ada, lanjutran di Maret tercatat 35% pelakunya ialah anak. Angka tersebut sangat tinggi sudah tidak bisa di toleransi lagi. Sementara pada April, ada 24% kasus yang pelakunya Anak.
Ini sebuah alarm bagi kita semua ada kesalahan di pengasuhan dan menjadi PR kita bersama. Pengasuhan di era digital ini di perlukan tringkat literasi digital yang sama antara naak dan orang tua.